Jakarta (Kamis, 28 Maret 2024)
Perhatian terhadap kesetaraan gender mendapatkan momentumnya di sekitar awal tahun 90-an di Indonesia. Sejak saat itu, berbagai upaya untuk mementuk kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki bergaung di dunia akademik hingga memengaruhi berbagai kebijakan negara.
Perhatian kepada kesetaraan gender mendapatkan pula dukungan dari pihak laki-laki hingga feminis laki-laki juga bermunculan di setiap wilayah kajian keperempuanan. Namun, ada kenyataan bahwa ketimpangan relasi gender justru sangat kuat terasa di wilayah pemahaman keagamaan. Karena itu, muncul dugaan jangan-jangan karena para komentator atau ahli agama biasanya adalah laki-laki.
Persoalannya, benarkah jika ahli agama adalah perempuan maka otomatis pemahamannya menjadi pro kesetaraan gender? Diskusi NAKSIR atau Ngaji Kajian Tafsir kali ini hendak menyoroti hal itu dengan Nurjanah sebagi narasumber. Nurjnah khawatir bahwa terkadang penafsir perempuan pun larut dalam ketidaksetaraan gender bahkan mendukungnya.[]