By Andi Jumardi at Minggu, 09 Desember 2018

Psikologi Menangis

Menangis adalah perkara sederhana yang sering kali diperumit oleh gengsi. Dalam majalah American Psychological Association yang ditulis oleh Lorna Collier pada Februari 2014, disebutkan menangis adalah bentuk ekspresi manusia yang punya akar di banyak kebudayaan. Menangis kerap kali dikaitkan sebagai ekspresi emosi dan psikologis. Pada 1980-an pakar kimia biologis William H. Frey, PhD mengemukakan bahwa perempuan rata-rata menangis 5,3 kali lebih sering daripada laki-laki dalam sebulan. Penelitian ini kemudian melahirkan persepsi bahwa perempuan cenderung lebih ekspresif daripada laki-laki.

Riset dari Lauren Bylsma, PhD, dari University of Pittsburgh yang dimuat dalam Journal of Research in Personality pada 2011 menyebutkan ada alasan mengapa perempuan menangis lebih banyak daripada laki-laki. Tubuh perempuan secara biologis memiliki jumlah hormon proclatin lebih tinggi daripada laki-laki. Hormon ini, menurut Lauren punya kencenderungan mendorong seseorang untuk menangis. Sementara pada laki-laki hormon testosteron mengurangi kecenderungan seseorang menangis.

Menurut Jonathan Rottenberg peneliti dan profesor psikologi dari University of South Florida menyebutkan bahwa menangis merupakan sinyal, penanda yang kita berikan kepada orang lain bahwa kita rapuh dan butuh berbagi.

Rapuh adalah kondisi emosional yang wajar. Psikolog mengungkapkan bahwa tidak selamanya manusia harus kuat, saat kondisi tertentu menangis adalah ekspresi yang wajar. Saat menangis salah satu area otak menjadi aktif. Menangis juga menjadi penanda bahwa manusia mampu merasakan penderitaan yang lain dan empati. Dengan menangis seseorang bisa merespons perasaan atau kondisi manusia yang lain, seperti saat melihat bencana alam atau berita duka dari orang terdekat.

Judith Kay Nelson, PhD, seorang psikoterapis dalam bukunya "Seeing Through Tears: Crying and Attachment" menangis kerap dilakukan di dekat orang yang kita anggap dekat. Ia juga menekankan bahwa menangis merupakan emosi yang normal dan sehat, seseorang yang memiliki masalah insecurity dengan dirinya sendiri kerap kali tak mampu menangis dengan wajar. Bagi beberapa orang yang susah menunjukkan emosi dan tertutup, lebih sering suka menyembunyikan perasaannya dan tak lagi mampu menangis karena menganggapnya sebagai tanda kelemahan.

Menangis adalah tanda seseorang sehat dan memiliki kondisi emosional yang stabil. Bagi bayi menangis adalah metode komunikasi, balita menangis saat mereka lapar, buang air, kepanasan, atau bahkan sekedar ingin membuat sibuk orang tuanya hingga kurang tidur. Bagi mereka yang memiliki kondisi emosi tidak stabil, menangis adalah bagian dari proses penyembuhan diri. Namun, belakangan teori ini diragukan karena dua penelitian terbaru menunjukkan hal berbeda. Hanya 30 persen dari responden yang mengikuti tes yang merasa lebih baik usai menangis, 60 persen sisanya merasa tak ada perubahan apa-apa.

Lauren M. Bylsma, Ph.D. dari University of Pittsburgh memiliki pendapat menarik tentang relasi menangis dan kondisi psikologis manusia. Dalam artikel yang dimuat di Journal of Research in Personality 2011, Bylsma berargumen dengan seseorang menangis punya korelasi positif dan pengaruh besar. Psikolog menemukan ada beberapa jenis orang yang tidak mampu menangis, seperti psikopat, sosiopat atau orang dengan gangguan kesehatan mental. Namun, bukan berarti mereka tidak normal atau tidak sehat. Beberapa orang memang memiliki tubuh yang tidak bisa memproduksi air mata sama sekali. Pasien dengan Sjogren Sindrome misalnya kesulitan untuk memproduksi air mata. Sementara yang lain menganggap bahwa menangis adalah bentuk ketakmampuan mengendalikan diri dan kelemahan. Mereka menganggap menangis adalah sikap cengeng seorang perempuan. Namun, yang pasti menangis punya fungsi kesehatan, jadi menangislah bila memang saatnya menangis dan berbahagialah jika kita masih mampu menangis.