Dalam mengkaji konsep kepemimpinan, ada dua pendekatan yang saling melengkapi; yaitu aspek fisiologis dan aspek psikologis. Yang pertama lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang konkret dan rasional; sedang yang kedua, lebih mengarah pada dimensi emosional. Untuk mendapatkan pengertian komprehensif tentang kepemimpinan, maka masing-masing pendekatan tersebut harus mendapat porsi yang seimbang. Pada kesempatan yang terbatas ini, tulisan ini membatasi diri pada telaah aspek psikologis saja.
Pembahasan tentang aspek psikologis dalam kepemimpinan merupakan bagian kecil dari kajian psikologi kepemimpinan. Maka dari itu setidaknya terdapat tiga hal yang perlu dimaklumi dalam tulisan ini, pertama, bidang psikologi jauh lebih luas dan complicated daripada kajian aspek psikologisnya, yang karena itu membutuhkan waktu yang cukup luas untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan mendalam. Kedua, bidang psikologi kepemimpinan merupakan kajian yang relatif lebih “abstrak” daripada aspek psikologisnya yang lebih menampakkan wujud konkretnya, sekalipun agak samar, pada perilaku nyata. Dan Ketiga, untuk tahap pemula (bagi yang baru berkenalan dengan disiplin ilmu psikologi) sangat baik menelaah konsep kepemimpinan dimulai dari bidang yang lebih spesifik.
DalamKepemimpinan (Leadership) aspek psikologisnya mengarah pada bagaimana seorang pemimpin mampu menjadi teladan bagi bawahannya, sehingga apa yang dia inginkan (dalam konteks organisasi) diikuti, segala yang diperintahkan dilakukan sebaik mungkin, dan apa-apa yang dia larang dipatuhi untuk dijauhi. Keteladanan terwujud karena ia memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang tidakdimiliki oleh bawahannya.
Diantara kelebihan yang dapat mengantarkan seorang pemimpin menjadi teladan bagi bawahannya adalah keunggulannya dalam hal integritas pribadi, penguasaan IPTEK, aspiratif, apresiasif, cepat mengambil keputusan dan melakukan tindakan, dan sejenisnya. Gambaran aspek psikologis tersebut berlaku umum pada organisasi yang solid termasuk dalam lembaga pendidikan yang profesional.
KEMAMPUAN “ACTUATING”
Menjadi pemimpin perlu modal dasar agar mampu melaksanakan fungsi-fungsi manajerial. Diantara fungsi-fungsi manajerial yang utama dan mendasar perlu dimiliki oleh seorang pemimpin adalah: Actuating, yaitu kemampuan pemimpin dalam mempengaruhi dan mengarahkan tindakan seseorang atau kelompok pada suatu organisasi dalam upaya memanfaatkan sumberdaya manusia, material, teknologi dan finansial untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif. Fungsi actuating ini menduduki posisi cukup penting diantara fungsi-fungsi manajerial yang ada. Bila fungsi ini terabaikan, maka seorang pemimpin tidak lebih berfungsi sebagai “Boneka”, yangdikendalikan oleh bawahannya.
Banyak orang yang menduduki jabatan strategis dalam suatu organisasimerasa kesulitan ketika menjalankan tugas-tugas pengelolaan organisasinya. Kesulitan tersebut karenaperilaku bawahannya yang kurang (bahkan tidak) mendukung terhadap kegiatan operasionalisasinya. dalam hal ini setidaknya ada dua komponen pokok yang harus ada secara dominan pada seorang pemimpin; Yaitu: kemampuan memotivasi bawahannya dan kemampuan mengelola konflik. Dua kompetensi itu merupakan bagian dari fungsi manajerial yang terutama harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Kemampuan untuk memotivasi bawahan merupakan keterampilan manajerial yang wajib dikuasasi oleh seorang pemimpin organisasi. Karena, ia bertanggungjawab untuk membantu bawahannya melaksanakan tugas-tugas secara efektif dan efisien. Yang harus dimengerti bahwa pemimpin tidak mungkin mempengaruhi dan memotivasi bawahan bila ia tidak memahami apa yang menjadi kebutuhannya. Peran penting dari motivasi adalah mampu mendorong kegairahan bawahan untuk berbuat sebaik dan seoptimal mungkin. Dengan memahmi pentingnya peranan motivasi tersebut, seorang pemimpin dapat mengembangkan prestasi dan kepuasan kerja bawahan.
Kemampuan pemimpin untuk mengelola konflik, didasarkan pada alasan bahwa bawahan memiliki perbedaan karakterisitik psikologis, pola pikir dan gaya berkomunikasi. Perbedaan itu berpotensi atau berpeluang besar menjadi penyebab terjadinya konflik antar bawahan, yang sedikit banyak dapat mengganggu kelancaran atau kontinuitas kegiatan. Jadi tugas pemimpin adalah ikut mengatasi problem tersebut sehingga bawahan menyadari dan melaksanakan tugas, fungsi dan tanggungjawab masing-masing.
MODEL PENDEKATAN
Dalam teori kepemimpinan dikenal tiga model pendekatan dasar, yaitu: (1) model sifat (trait model), yang memusatkan bawahannya pada karakteristik personal pemimpin; (2) model perilaku (behavioral model), yang memusatkan pada tindakan pemimpin; (3) model kontinjensi (contingency model), yang menilai hubungan antara karakterisitik situasi yang ada dengan perilaku yang dimiliki seorang pemimpin.
Dari ketiga model terebut contingency model lebih dekat pada pembahasan aspek psikologis kepemimpinan. Model kontinjensi memfokuskan pentingnya situasi dalam menetapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan masalah yang dihadapi. Menurut F.E Fiedler gaya kepemimpinan ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pemimpin yang berorientasi pada orang (hubungan manusiawi) dan pada tugas. Pada orientasi yang pertama pemimpin mendapatkan kepuasan bila terjadi hubungan yang mapan diantara sesama anggota kelompok dalam suatu pekerjaan. Bawahan dipandang sebagai co-worker (patner) dengan menjalin hubungan positif. Sedang orientasi yang kedua, memandang bahwa pemimpin akan puas bila mampu menyelesaikan tugas-tugasnya dan bawahannya. Hubungan yang harmonis dengan bawahan bukan suatu prioritas, karena prioritas utamanya pada penyelesaian tugas. Dengan kata lain, mengabaikan hubungan manusiawi dengan pekerjaannya. Pemimpin yang berorientasi manusiawi dikenal dengan istilah trust worthing (menekankan rasa percaya diri terhadap bawahan); sedang pemimpin yang berorientasi pada tugas disebut hard worker, karena lebih menyukai dan mengutamakan penyelesaian tugas berat dan menantang.
KONFLIK DALAM ORGANISASI
Perbedaan karakterisitik psikologis, dalam organisasi berpotensi menimbulkan konflik antar individu. Keberhasilan pemimpin dalam mengatasi konflik bergantung pada kemampuannya mengenali penyebab konflik, dan memilih pendekatan yang sesuai dalam memecahkan konflik serta menerapkan alternatif pemecahan.
Konflik akan memiliki konotasi positif dan negatif, tergantung pada cara pemimpin memandang hakikat konflik dan pengaruhnya terhadap efekvifitas pencapaian tujuan organisasi. Bila pandangan negatif, maka dia akan memandang orang (individu atau kelompok) sebagai oposisi bagi dirinya. Dalam hal ini konflik akan dipandang sebagai agresi (serangan), kekerasan dan kompetisi yang merusak. Pandangan yang negatif terhadap konflik akan mewarnai sikap pemimpin untuk mengutamakan kemenangan dari pada timbulnya pemecahan masalah yang efektif bagi organisasi yang eksesnya akan menghambat pemecahan masalah secara fair.
Dalam dinamika kehidupan yang pluralistik dengan berbagai kepentingan, konflik merupakan suatu keniscayaan adanya. Karena itu konflik dalam organisasi (termasuk dalam lembaga pendidikan) tidak harus dihindari, tetapi perlu dikelola, diarahkan dan dipecahkan sehingga mempunyai kontribusi yang positif bagi tercapainya tujuan organisasi secara efektif. (Ahmad Zain S)